Minggu, 24 Oktober 2010

Theoretical Reflections On The Life World Of Tanzanian Street Children By Markus Wiencke (Free University, Berlin)

Theoretical Reflections On The Life World Of Tanzanian

Street Children

By Markus Wiencke (Free University, Berlin)

Artikel ini menggambarkan dunia kehidupan anak jalanan di Tanzania kota Mwanza dari sudut pandang emik yang lebih menekankan ke proses pembentukan kemudian menggambarkan bentuk tanggung jawab atas tindakan mereka yang semata-mata hanya sebagai suatu subjek. Selanjutnya artikel ini menyajikan beberapa refleksi teoritis bagaimana Marckus Wiencke akan menjelajahi kehidupan anak-anak dan pemuda dengan mengacu kepada pembangunan dan pembentukan identitas. Dengan demikian menjadi jelas bahwa kekerasan dan kondisi kehidupan material yang menjadi halanhan untuk dapat menghasilkan identitas kolektif.

Introduction

Menurut Pasal 1 Konvensi PBB tentang hak-hak anak: “seorang anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun”. Menurut perspektif sosio-historis, masa kanak-kanak tidak hanya pada usia pertumbuhan yang hanya mencakup masa kehidupan dari lahir samapai masa pubertas, tetapi juga mencakup konsep sosial dan perkembangan zaman. (Alber, 2002: 91-92). Dalam konstruksi sosial, masa kanak-kanak tidak dapat dipisahkan dari aspek sosial lain seperti etnis, stratifikasi sosial, gender dan ini terdapat dalam konteks sosial dan historis. (Yakobus dan Prout 1997). Akan tetapi cara untuk menggambarkan kehidupan anak jalanan sehari-hari yang otentik dan bebas dari pengaruh orang dewasa menggunakan proses klasifikasi normatif yang merupakan ekspresi dari citra peneliti kemudian menghasilkan masa kanak-kanak yang sukses dan menjadi suatu hal yang harus dipertanyakan. (Honig, Leu dan Nisssa, 1996).

Pemerintah daerah di Mwanza telah mengumpulkan data populasi selama sepuluh tahun terakhir dan mengalami peningkatan besar yaitu, naik dari 223.000 orang pada tahun 1990 menjadi 512.000 orang pada tahun 1999. (2000:20. Van Gogh). Kota Mwanza menjadi tempat migrasi khususnya dari pedesaan dari bagian barat negara ke kota serta kota Mwanza berperan dalam lokasi perdagangan internasional untuk negara-negara lain seperti Uganda, Kenya, Rwanda, Republik Demokratik Kongo dan Tanzania. Kehidupan masyarakat di tepi Danau Victoria itu sendiri orang bertahan hidup dari kegiatan memancing kemudian terdapat sejumlah perusahaan pengolahan dan perdaganagn ikan, selain itu terdapat juga perusahaan, toko-toko, kantor yang cukup kecil.

Selama kunjungan lapangan, Marckus Wiencke melakukan wawancara kehidupan informan, kemudian juga menggunakan metode, gambar dan observasi. Setelah itu dianalisis dan didapatlah deskripsi dari kehidupan anak jalanan di Mwanza. Proses pembuatan penelitian ini dimaksudkan untuk memahami dan menyediakan dokumen yang rinci.

Pertama, marckus Wiencke akan menetapkan situasi yang menggambarkan sejauh mana proses globalisasi di Tanzania dan penngaruh konsep moral dan struktur sosial masyarakat setempat. Kriteria untuk menjelaskan “anak jalanan” sanagat banyak. “Street” merujuk kepada semua ruang publik dan sosial baik kemudian dari hubungan keluarga baik yang baik, lemah, dan kondisi rusak. Jalanan merupakan tempat anak-anak terbentuk. Sebagian besar kegiatan kehidupan sehari-hari seperti bekerja, bermain, makan, tidur, dan melakukan hubungan sosial terjadi di jalanan tanpa memiliki jenis perlindungan khusus dan perawatan. (Dachtler 1999:21-22).

Deconstruction Of The Concept “Street Child”

Menurut Richter (1988:1) mendefinisikan anak jalanan, sebagai anak-anak yang telh meninggalkan (atau telah ditinggalkan oleh) keluarga mereka, sekolah dan masyarakat, sebelum usia mereka enam belas tahun dan nomaden merupakan pilihan hidup mereka. Sedangkan menurut Glauser (1997) definisi ini merupakan suatu permasalahan bahwa anak-anak bergantian antara kehidupan di jalan dan tempat-tempat di lembaga kesejahteraan atau di penjara.

Anak jalanan itu menimbulkan permasalahan karena anak-anak menghadapai aspek-aspek negatif seperti kenakalan dan kekerasan dan implikasinya bahwa jalanan merupakan tempat yang ilegal dan kriminal. Dalam pengertian ini harusnya menekankan kepada pentingnya membantu anak-anak dalam keperluan hidup mereka. Selain itu memberikan kontribusi secara langsung bagi anak-anak yang tidak memiliki keluarga, rumah, atau sekolah. (Liebel 1993, cf Glauser 1997).

Schibotto (1993) menjelaskan bahwa kegiatan anak-anak harus ditunjukan melalui pekerjaan. Dalam hal ini harus melibatkan semua kegiatan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup seperti halnya memahami kebutuhan gaji sebagai kelangsungan hidup. Konsep anak yang bekerja ini untuk menghindari penolakan moral dan pertanggung jawaban sosial ekonomi. Konsep ini menekankan bahwa berbeda dengan konsep kehidupan yang mencoba dengan cara positif dan bukan berfokus kepada status korban. “Bekerja di jalan” menggambarkan bahwa anak-anak berkotribusi penting dalam masyarakat dan melaksanakan fungsi sosial. Menjadi tenaga kerja terlatih dan mereka juga penting untuk pasar tenaga kerja.

Stories And Drawings

Selama hari-hari pertama saya tinggal di Mwanza, dua anak laki-laki jalanan (19 dan 22 tahun) mendekati saya untukmenjual beberapa kartu pos. keduanya dan satu anak lainnya (19 tahun) datang ke tempat saya bekerja untuk bermain. Bersama kami pergi ke berbagai tempat wisata di Mwanza dan sekitarnya. Melalui mereka saya dapat memperoleh banyak kontak kepada anak jalanan lainnya. Dalam pandangan saya, mereka memiliki tempat di jalanan karena mereka memang telah memiliki banyak pengalaman. Hal ini juga ditunjukkan dari hasil melakukan wawancara sebanyak 22 kali yang telah diatur dan diterjemahkan oleh salah satu dari mereka. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus dan September 2001. Nara sumber yang diambil sebagai sampel berusia antara 13-22 tahun, tujuh perempuan dan lima belas laki-laki.

Dari hasil wawancara data yang diperoleh adalah informasi mengenai kehidupan anak jalanan di Mwanza. Saya bertanya kepada dua seniman kartu pos untuk menggambarkan biografi mereka dan situasi kehidupan mereka sebagai anak jalanan di Mwanza. Dengan demikian, saya tidak perlu menanyakan lebih lanjut pertanyaan saya karena mereka sudah menceritakannya. Setelah pendeskripsian selesai, kami bercerita tentang hidup mereka. Setelah selesai melakukan pengambilan gambar, lebih dari seratus gambar yang diambil oleh Sengondo (22) dan Masumboko (19), (nama dan tanda tangan telah dipalsukan). Makalah ini dibuat untuk menyajikan cerita tentang pekerjaan mereka untuk memberikan wawasan tentang dunia mereka. Terkecuali gambar untuk “para anak jalanan”, saya telah menyiapkan judul untuk mereka. Dalam bagiannya saya akan memberikan intepretasi untuk setiap gambar dan melengkapinya dengan hasil wawancara.

(i) Village Pictures

Sengodo telah mengambil banyak gambar yang mendeskripsikan kegembiraan, hidup ideal dengan kebutuhan makan yang tercukupi. Dalam gambar-gambar yang telah diambil, tergambar orang-orang yang sedang menjalankan tugas sehari-hari mereka. Dalam pengambaran pun kegiatan mereka terpisah secara jelas berdasarkan gender. Para pria misalnya sedang memotong kayu, sedangkan perempuan melakukan kegiatan di rumah dan menjaga anak mereka. Semua menjadi komunitas yang fungsional dengan kebutuhan makan yang tercukupi.

Sebagian besar responden menganggap bahwa kehidupan mereka ketika di rumah lebih positif dari pada situasi mereka saat ini. Namun, mereka tidak mempunyai pilihan lain untuk meninggalkan rumah mereka dan pergi ke Mwanza. Selain itu, sedikit sekali perasaan mereka untuk ingin kembali pulang ke rumah. Rata-rata dari mereka kembali pulang bukanlah suatu pilihan yang realistis. Berbeda halnya dengan perasaan Masumbo yang menggambarkan keberadaan dari desanya sangatlah berbeda. Dia menganggap bahwa di desanya memang sudah tidak memiliki cita-citanya lagi. Mayoritas para anak jalan berasal dari daerah pedesaan, dan hanya sebagian kecil dari mereka yang benar-benar berasal dari Mwanza sendiri.

(ii) Survival Strategies

Kota Mwanza memberikan kesan tersendiri bagi anak-anak jalanan. Kota Mwanza memberikan ruang untuk tempat tinggal mereka, para anak jalanan. Keseharian mereka juga sering terlihat di terminal-terminal dan jalan-jalan di Kota Mwanza. Dari fenomea ini terlihat sebuah realita bahwa setiap orang yang berada di negara mereka sendiri tidak dapat terhindar dari kemiskinan dan pengabaian. Terlihat sosok anak jalanan. Beberapa dari mereka menggunakan pakaian compang-camping dan berjalan dengan bertelanjang kaki. Dari sini dapat dilihat bahwa tidak ada perhatian yang diberikan kepada anak jalanan untuk kelayakan hidup dan juga keamanan bagi mereka.

`Melalui sebuah wawancara oleh peneliti pada artikel ini dengan anak jalanan. Mereka mengungkapkan perihal pertemanan mereka. Mereka sangat sulit untuk berteman dengan anak rumahan. Jangankan berteman, berbicara dengan anak rumahan saja sudah sangat sulit, seperti ada jarak yang terjadi di antara mereka. Mereka juga merasa bahwa anak rumahan tidak mempunyai sikap kepedulian terhadap mereka yang membutuhkan, apalagi untuk membantu meringankan permasalahn mereka. Itu mereka anggap sesuatu yang mustahil. Berbeda halnya dengan anak jalanan yang beruntung bisa mendapat kesempatan sekolah. Karena di sekolah lebih mudah mendapatkan teman, menurut pengakuan seorang teman dari anak jalanan yang diwawancarai oleh peneliti.

Kemudian ada cara-cara yang dilakukan anak jalanan untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup mereka misalnya, ada fenomena perempuan jalanan. Perempuan jalanan mempunyai dua tafsiran yaitu, ada tafsiran yang artinya anak jalanan perempuan dan ada tafsiran bahwa perempuan jalanan itu adalah pelacur. Beberapa dari anak perempuan jalanan terlibat dalam hal pelacuran, yang merupakan salah satu cara mendapatkan uang. Beban mereka-pun juga bertambah di saat beberapa dari keluarga mereka yang menolak mereka untuk pulang ke rumah. Dengan alasan, pihak keluarga takut jika mereka membawa penyakit menular seperti, AIDS.

Adapun anak jalanan laki-laki, biasanya mendapatkan uang dengan cara-cara sebagai berikut.

· Bekerja di pelabuhan, menjadi kuli bongkar muat kapal.

· Mengumpulkan potongan kawat untuk membuat kail pancing yang kemudian dijual ke nelayan atau memakainya sendiri untuk memancing ikan, dan hasilnya dijual atau untuk makan sendiri.

· Bekerja di pasar menjadi kuli angkut.

· Menjadi petugas kebersihan.

· Berjualan rokok, telur, susu dan lain sebagainya.

· Mengumpulkan potongan aluminium, batubara, dan sampah. Kemudian dijual kembali.

· Bekerja di restoran dan bar.

· Mengemis juga salah upaya mendapatkan uang. Tetapi mengemis merupakan cara sulit dalam mendapatkan uang bagi pengemis dewasa dibandingkan dengan pengemis anak-anak.

· Cara yang paling beresiko bagi anak-anak jalanan untuk mendapatkan uang adalah dengan cara mencuri.

(iii) Leisure Activities

Adapun kegiatan santai pada beberapa anak jalanan yaitu, diisi dengan menghisap lem yang dapat membuat mereka mabuk dan menurut mereka dapat menghilangkan beban pikiran yang mereka alami. Ini biasanya mereka lakukan secara sendiri-sendiri. Adapula anak jalanan lainnya seperti, pada beberapa anak jalanan laki-laki dan anak jalanan perempuan yang mengisi kegiatan santai mereka dengan merokok dan minum minuman beralkohol. Dan biasanya pada anak jalanan laki-laki sering beralih pada merokok ganja. Ini juga salah satu cara yang mereka lakukan untuk mengatasi kelaparan dan rasa takut tentang apa yang mereka alami.

(iv) Abuse


Gambar "Escape" melukiskan suatu kelompok enam anak jalanan yang sedang melakukan perjalanan melarikan diri dari badai proyektil berbahaya. Mereka melakukan ini dengan melompat dan berputar yang mungkin agak tidak mungkin, seperti adegan disebuah komik menuju permukaan air (yang mungkin menuju DanauVictoria). Di paling kanan, seorang perempuan berpakaian tradisional dengan membawa panci berisi air mengamati kepala suku. Dan tidak jelas siapa yang melempar batu, kapak, pisau, dan palu dari kiri. Beberapa batu telah membuat salah satu anak laki-laki terbaring tidak berdaya dengan kedua tangannya berada diatas kepala seolah-olah melindungi kepalanya. Selain ia melindungi kepalanya ia juga memegang sebuah catatan bank notes bank kecil yang berisi mengenai catatan keuangan bank dan disisi lain ada juga seorang anak lainnya menjatuhkan sebuah notes bank dari dalam saku dompet seseorang yang kemudian lari sekencang-kencangnya. Yang membuat adegan ini sangat aneh adalah keputusan bersama anak laki-laki untuk menemukan tempat di danau! Kemudia anehnya lagi ketika dihadapkan dengan suara tembakan rudal mematikan bahkan tempat yang paling tidak aman tersebut bisa tampak menjadi tempat yang indah seperti surga.

Di tanzania anak-anak jalanan memiliki reputasi yang buruk dan dipandang sebagai pencuri, pengganggu ketertiban masyarakat dan dianggap sebagai orang-orang yang merasa memiliki ketidakpuasan atas pemerintahan. Dalam Mwanza mereka disebut sebagai watoto wa mitaani yang diterjemahkan artinya itu “anak-anak yang hidup dijalanan”, sebuah istilah yang artinya merendahkan suatu kelompok, watoto wa wakoma, yang diterjemahkan sebagai ” anak-anak lepra”, juga digunakan ( van gogh 2000:24). Anak jalanan sering sekali diabaikan dalam kehidupan masyarakat mereka sering dimarjinalkan. Anak-anak jalanan memiliki reputasi pencuri ini, dipandang sebagai gangguan, dan melayani sebagai obyek untuk proyeksi ketidakpuasan orang lain dan agresi.

Seorang anak laki-laki berumur 19 tahun yang diwawancarai mengatakan kekerasan fisik sering terjadi terhadap anak-anak jalanan dan ia juga mengatakan beberapa orang seperti memukul. Dan anak-anak lain mendapat panggilan "Streetboy" atau "pencuri" atau "bandit". (Wawancara 2)

Pada gambar di bawah, "Polisi", kita disuguhi pemandangan waktu malam dengan danau. Sebuah clubwielding polisi sedang membawa anak laki-laki menangis dengan celana pendeknya. Dari kejauhan lain tampaknya polisi memburu tiga anak jalanan. Untuk Sengondo, seragam polisi rupanya memegang banyak signifikansi karena ditarik dalam jumlah besar. Bahkan lambang dan jam digital dipergelangan tangan polisi jelas nampak dalam ilustrasi. Ia tampaknya hampir seperti anak bahkan tidak ingin menangkis kekerasan yang dilakukan oleh polisi, karena kalau melawan akan menjadi ancaman juga oleh klub, ia masih memegang rokok di tangannya daripada menggunakannya untuk membela diri.


Anak-anak jalanan yang terus-menerus berhadapan dengan kekerasan negara. Ketika membahas polisi, seseorang harus membedakan antara polisi negara dan milisi swasta. Yang terakhir,
yang disebut sungusungu di Kiswahili, tidak selalu resmi dibayar. Walaupun saya
sendiri tidak mampu untuk mengamati setiap penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh polisi atau sunguh-sunguh, wawancara lagi dan lagi menunjukkan laporan berapi-api dan ada bersama dari seperti kekerasan. Dikatakan bahwa polisi lebih suka mengalahkan sendi korban mereka, karena tidak ada perdarahan eksternal terjadi.

Seseorang laki-laki berumur 19 tahun yang sudah lama tinggal diwawancarai mengatakan: Jadi polisi datang, selalu datang untuk mengalahkan dia, untuk mengganggu dimana Anda berada tidur. [...] Polisi tradisional dan polisi bersama-sama, dan kemudian mereka memukul anak jalanan. Jika mereka ingin bertemu di suatu tempat, mereka memukul saat Anda tidur di bawah lantai, mereka hanya memukul Anda di sana. (Wawancara 9) Mengenai polisi tradisional ada juga laporan yang lebih dibedakan. Namun, tidak berubah dalam isi penting mereka.

Dia mengatakan sungusungu ah, polisi tradisional, mereka takut kelompok jalan
anak-anak. Dia mengatakan mereka biasanya menangkap Anda ketika Anda hanya diri sendiri. (11
wawancara, pria berusia 20-tahun)
untuk perempuan dikenakan baik pelecehan fisik dan seksual.
Dia mengatakan ketika Anda tidak memiliki uang untuk polisi, mereka hanya meminta Anda untuk seks,
mereka melakukan pelecehan seksual, dan bila Anda tidak menerima, menolak, mereka memerangi kamu dan menangkap kamu. (Wawancara 16, perempuan berusia 17-tahun)

Sebuah wawancara dengan perempuan berusia 18 tahun menggambarkan situasi sebagai berikut: Dia mengatakan jika ada masalah dengan polisi ia akan menangkap Anda dan apabila anda sebagai seorang gadis jalanan anda akan ditangkap oleh polisi dan polisi tersebut akan membawa anda ketempat yang sepi untuk melakukan pelecehan seksual. Dan kemudian mereka menginterogasi saya dengan banyak sekali polisi disekitar saya setelah itu mereka melakukan pelecahan seksual. Ia tidak tahu menahu mengapa ia dilakukan seperti itu.

Life Worlds And Space

Schütz (1974) dimodifikasi (2002) konsep Husserl tentang dunia kehidupan. konsep "realitas sehari-hari" (Alltag). "Dunia sehari-hari" (Alltagswelt) adalah realitas di mana setiap manusia berpikir, merasa, hidup, bertindak dan berkomunikasi. Ini dunia diberikan kepada masing-masing dari kita dan diterima secara alami dan tanpa mempertanyakan. Melalui interaksi individu dengan dunia material dan sosial, dunia hidup adalah diciptakan dan cakrawala pengalaman individu diperluas. Mengalami kehidupan dunia sangat mempengaruhi cara manusia bertindak makhluk (Love dan Wenger 1991).

Dunia hidup ini dibagi menjadi bidang yang terpisah di mana individu menjadi aktif: lokasi rekreasi, jalan, dan sebagainya. Salah satu kebutuhan sejumlah pengetahuan untuk dapat menjadi cukup aktif dalam lingkungan;tanpa itu, terjadi gangguan yang dianggap sebagai kecemasan, ancaman atau masalah. Namun, kemungkinan untuk bisa menerapkan pola belajar aksi memungkinkan partisipasi dalam bidang yang disebutkan di atas menjadi, sehingga memberikan perasaan individu keamanan. Perasaan subyektif makna, identifikasi dan milik dapat diperoleh dengan berpegang pada, aturan norma dan nilai-nilai bidang tertentu.

Dalam hal ini kasus dunia kehidupan individu tertanam dalam "pola dunia kehidupan" masyarakat (Lebensweltmuster) yang merupakan kerangka untuk semua pola pikir individual dan interpretasi (Dachtler 1999:74-75, Schubert 1994:166-180,Grathoff 1995, Schütz dan Luckmann 1979).Seperti dijelaskan di atas, anak jalanan pertemuan besar kesulitan dalam mencapai pengetahuan yang relevan dan keterampilan di beberapa daerah karena kurangnya pengakuansosial.

Dunia kehidupan anak jalanan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan perkotaan dimana mereka tinggal. Bila, sebagai akibat dari globalisasi, anak-anak dan pemuda bermigrasi ke kota, organisasi spasial perubahan hubungan sosial mereka. Proses ini perubahan juga tercermin dalam perbedaan antara desa dan gambar kota. hubungan sosial selalu memiliki bentuk spasial dan konten spasial. Mereka harus ada dalam ruang (misalnya dalam hubungan daerah dengan fenomena sosial lainnya) serta melampaui perbatasannya. Yang terjalin secara kompleks dan mengartikulasikan diri jaringan hubungan sosial membentuk ruang sosial. Sebagai jaringan tersebut dinamis, sehingga ruang sosial ini juga dalam gerakan (Massey 1994:168-169). Simmel (1995) sudah menunjukkan bahwa hubungan antara manusia di kota menjadi jauh lebih impersonal, dangkal, sementara, dan tersegmentasi dari mereka berada di kehidupan desa. Karena individu lebih terlibat dalam proses interaksi, maka derajat diferensiasi sosial yang mungkin di antara mereka semakin bertambah, sedangkan pada saat yang bersamaan menurunya bentuk komunikasi (lih. Wirth 1964:83).

Kota ini membawa serta tatanan moral yang berbeda di mana posisi dan selfawareness
anak jalanan didefinisikan kembali oleh sikap dan standar lainnya individu dan kelompok. Yang dimaksud dengan yang baru ditentukan status sosial mereka adalah sosial jarak. Dan jarak sosial berdiri berkaitan erat dengan jarak spasial, seperti fisik jarak juga merupakan indeks untuk jarak sosial (Taman 1926:17-18). Sebagai dasar sistem divisi spasial seperti subjek dan objek, inklusi dan eksklusi, serta pemisahan spasial seperti dekat dan jauh, sekarang dan tidak ada, budaya dan alam, ruang sosial menentukan titik acuan untuk persepsi yang pada gilirannya menghasilkan hegemonik sistem ideologi dan praktek. Prasyarat ruang merupakan budaya persepsi dan prasangka, dan mendirikan kode performatif yang link sosial praktek dan cara-cara interaksi sosial untuk lingkungan masing-masing. Dalam hal ini menghormati, konsep ruang menampakkan diri dalam wacana masyarakat. Mereka memainkan peranan penting dalam membenarkan dan melegitimasi keputusan dan tindakan sehari-hari (lih. Lakoff dan Johnson 2003). Pemisahan spasial juga konstitutif sosial pemisahan antara kelompok (Shields 1991:46-47).

Dalam gambar-Nya "Lem sniffer", "Escape" dan "Polisi", Sengondo ini menggambarkan pemisahan sosial antara kelompok-kelompok sangat jelas. lingkungan hidup perkotaan anak-anak jalanan tersebut adalah demikian tidak ontologis pasti pada awalnya, tapi pertama-tama menerima maknanya sebagai ruang sosial ketika warganya mendefinisikan diskursif dan fisik dalam kehidupan sehari-hari mereka (De Certeau 1988). Ketika anak-anak harus hidup di jalanan mereka pertama-tama harus belajar tentang bagaimana seperti konteks beroperasi. Jika mereka mencapai ini mereka kemudian dapat mulai untuk memanipulasi itu dengan praktek. Seperti dijelaskan di atas dalam "Cerita dan gambar" bagian mereka melakukan berbagai tugas dan mengadopsi pola-pola perilaku tertentu, seperti lem sniffing, yang berkaitan dengan anak jalanan.

Ruang sosial yang terdiri dari posisi potensial yang seorang individu dapat mengasumsikan dan yang membentuk / nya keberadaannya. Menurut Bourdieu (1983) posisi individu ini dibentuk oleh / nya ibukotanya ekonomi, budaya, sosial dan simbolik. Modal ekonomi termasuk pendapatan dan aset, modal budaya diperoleh melalui pendidikan. Modal sosial yang dibentuk oleh asal, hubungan dan keanggotaan ke kelompok; yang simbolik yang diperoleh ketika tiga bentuk lainnya dianggap sah dan dihormati seperti itu. Anak-anak jalanan memiliki sedikit budaya dan tidak ada modal ekonomi, tapi kemampuan yang besar untuk mengembangkan modal sosial (bdk. Wolf 2004:188). Mereka menyediakan saling mendukung satu sama lain untuk bertahan hidup dijalanan. Sengondo dan Masumbuko juga dapat capital gain sosial melalui gambar mereka.

Anak-anak jalanan hidup di dunia kecil kehidupan sosial mereka, di ruang sosial yang nyata. Pada satu sisi anak-anak memberikan kontribusi terhadap pembangunan ruang ini, sementara di sisi lain struktur ruang memainkan peran yang sangat menentukan dalam membentuk anak-anak. Bourdieu (1977) meneliti cara dimana struktur ruang social diterjemahkan ke dalam pengalaman fisik dan praktek. Ia mengusulkan konsep kunci tentang habitus sebagai generatif dan penataan prinsip strategi kolektif dan praktek-praktek sosial yang digunakan untuk mereproduksi struktur yang sudah ada. Melalui pengalaman sehari-hari dari spasial simbolisme jalan, seseorang mewujudkan struktur sosial dan menggabungkan ke dia / praktek sehari-hari. Sebagai konsep habitus berkaitan struktur sosial spasial bagi tubuh manusia dan praktek-praktek tubuh juga termasuk kemungkinan resistensi terhadap struktur sosial (Giroux 1983, Rendah 1999:114).

Dalam kasus anak jalanan perlawanan ini menjadi jelas misalnya dalam kegiatan hidup mereka, terutama dalam kenakalan - seperti digambarkan oleh Sengondo di fotonya "pencurian Harbour". anak jalanan tersebut, bertindak sebagai aktor sosial, menciptakan realita mereka sendiri dan makna dalam ruang publik. Namun, seperti manusia lainnya dan lembaga yang terlibat dalam produksi sosial dan pembangunan ruang publik, konflik selalu terjadi (lih.Rendah 1999:112-113). Hal ini karena anak-anak jalanan menempati ruang yang tidak ditujukan untuk mereka, dan dengan demikian mereka mengancam tatanan sosial. Seorang pria berusia 13 tahun diwawancarai telah berulang kali mengalami pengucilan sosial: Dia mengatakan bahwa aku selalu pergi ke pemilik toko, dan ketika saya meminta uang beberapa mereka memberi saya dan beberapa penurunan. Dan mayoritas dari mereka, mereka berpikir bahwa saya pencuri, dan mereka menemukan beberapa tongkat untuk melawan saya, dan saya melarikan diri, dan sebagainya Aku punya tempat untuk pergi. (Wawancara 8)

Namun, kurangnya kohesi dalam struktur sosial tidak hanya menimbulkan bahaya tetapi juga kemungkinan bagi pola sosial baru (Douglas 1988). Saya ingin meneliti aspek ini
lebih dekat. Anak-anak yang datang ke Mwanza awalnya berdiri di ambang karena mereka
berubah menjadi anak jalanan. Mereka berada dalam proses transisi, mereka belajar bagaimana untuk bertahan hidup di jalanan dan untuk mengembangkan strategi yang tepat dengan yang untuk melakukannya (lih. Love dan Wenger 1991). Di jalan-jalan proses pembentukan identitas berlangsung untuk anak-anak yang datang ke Mwanza dan mulai untuk hidup di jalanan di sana.

The Street As The Place Of Identity Formation

Seseorang dapat memahami kehidupan anak jalanan sebagai sebuah sistem yang tertutup bagi dirinya dalam pandangan Luhmann. Bentuk dari referensi diri digambarkan sebagai kesatuan dari setiap unsur, proses, dan sistem dalam dirinya. Dirinya tersebut diartikan sebagai kemerdekaan terhadap perubahan dari pengamatan orang lain (Luhmann 1987:58). Hal ini tidak bertentangan dengan sistem yang terbuka terhadap lingkungan di sekitarnya. Kesatuan referensi diri tersebut merupakan perluasan hubungan dengan dunia luar, dan kemungkinan kompleksitasnya cenderung meningkat. Hal tersebut merupakan prasyarat bagi sistem identitias “anak jalanan”, sebagai identitas yang memungkinkan terbentuknya pembedaan.

Seorang informan menggambarkan diri mereka sebagai “anak jalanan” dan memisahkan diri dari masyarakat. Meskipun mereka terpisahkan, namun terlihat jelas jika mereka memiliki rasa kebersamaan satu sama lain, hal tersebut berarti bahwa sistem Luhmann telah terbentuk dan terlihat jelas dalam keseharian mereka. Pakaian yang robek dan kotor, rumah yang menjadi permanen di pinggir jalan, nada suara yang kasar, hingga tidur di luar rumah. Hal-hal demikian membuat mereka dijauhi oleh masyarakat dan mengasosiasikan mereka dengan pencuri serta ancaman bagi masyarakat.

Karakteristik umur mereka antara 13 tahun hingga 20 tahun, dengan anak yang paling muda berumur 7 tahun dan yang paling tua berumur 22 tahun. Mereka berpartisipasi dalam menerapkan sistem bahwa tiap anak mendapat perlindungan dan keamanan. Proses pembentukan identitas sosial anak jalanan dapat dilihat sebagai pemisahan kolektif kelompok sosial anak jalanan dengan kelompok masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka.

Dalam psikologi, identitas digambarkan sebagai citra yang menggambarkan diri tiap-tiap individu. Dalam hal ini, identitas diri dibangun oleh diri mereka sendiri. Tiap identitas harus dibedakan dari perannya, yaitu harapan masyarakat mengenai perilaku individu dalam dirinya. Menurut Hausser, "identitas" adalah hubungan informasi antara bagaimana sikap seseorang saat ini dan masa lalu, serta sikap saat disini dan sikap saat di sana. (Hausser 1995: 3-4). Sedangkan dalam ilmu sosiologi, identitas adalah penggambaran atas pencapaian seseorang terhadap sesuatu dan bagaimana mencapai hal tersebut, yaitu peran individu di dalam lingkup sosial. (Goffman 2004).

Kedua konsep tersebut mensyaratkan jika identitas dapat terbentuk jika terdapat interaksi dengan orang lain. (Zaumseil 1997: 148). Seorang individu mengembangkan identitasnya melalui interaksi dengan lingkungan sosial sebagai struktur yang dapat berubah dalam proses konstruksi sosial yang lebih lanjut (Bruner 1990).

Di jalanan, banyak anak-anak berdatangan, saling berbagi pengalaman, cerita, dan hal tersebut menghasilkan kepercayaan satu sama lain. Menurut Rohrle (1994), jaringan sosial yang terbentuk diantara mereka diartikan sebagai jumlah total hubungan sosial yang terjalin antara orang-orang, peran-peran, serta organisasi mereka. Jaringan sosial memiliki fungsi sebagai pembentuk identitas dan kestabilan emosi mereka (Heller, Swindle, dan Dussenbury 1986).

Discrimination And Stigmatisation

Tingkat harapan hidup yang tidak merata di wilayah Mwanza sebagai dampak ketidakmerataan distribusi pendapatan masyarakat. Sebuah status sosial diberikan kepada tokoh masyarakat yang menentukan batasan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anggota masyarakat. Status sosial tersebut dapat diketahui berdasarkan jaringan hubungan sosial yang bersifat asimetris, antara peran individu dan peran kelompok. Kelompok anak jalanan dapat disebut sebagai sebuah status sosial karena mereka memiliki sumber daya yang sama, dan memiliki hubungan dengan penghargaan sosial (Neckel 1991 :193-197).

Wiencke, tidak berbicara mengenai stigmatisasi terhadap seorang individu, melainkan terhadap anak jalanan secara keseluruhan. Kunci permasalahan yang terjadi terhadap stigmatisasi sosial adalah pola ketergantungan antara kelompok anak-anak jalanan dan kelompok lainnya dalam masyarakat. Sehingga timbul ketidakseimbangan dalam kewenangan dan menimbulkan ketegangan antara kelompok sosial, terutama kelompok anak-anak jalanan (Elias dan Scotson 2000 : 14).

Stigma adalah pembentukan konsep penyimpangan dari suatu yang ideal yang kemudian berkembang secara luas. Berdasarkan pendapat Goffman (2004:100), stigma pada prinsipnya merupakan sebuah label sosial yang mampu mendiskreditkan secara radikal persepsi suatu kelompok masyarakat dan persepsi dari orang lain.

Stigma yang dialami oleh anak-anak jalanan menjadi semakin terpinggirkan dan terdiskriminasi. Bnayak studi mengenai anak-anak jalanan diberbagai masyarakat yang menunjukkan bahwa ketakutan terbesar mereka adalah dimusuhi oleh masyarakat dan ketakutan terhadap polisi (Aptekar dan Abebe 1997: 477). Perlakuan diskriminasi yang diberikan orang lain, merupakan sikap yang sudah mendasar dan menjustifikasi para anak-anak-anak jalanan terhadap berbagai macam bentuk penganiayaan dari orang lain.

Conclusion

Pada tahun 2004, Wiencke mencoba untuk melakukan wawancara dengan beberapa anak-anak jalanan yang pernah ditemuinya pada tahun 2001. Namun, dari 22 anak, hanya 8 anak yang dapat diketahui keberadaannya. Sebanyak 6 anak laki-laki berhasil ditemui di kota lain, 1 orang telah bekerja, 1 orang terlibat proyek bantuan, dan 14 anak lainnya tidak diketahui keberadaannya. Seorang perempuan telah meninggal akibat AIDS, dua anak masih hidup di jalanan kota Mwanza, dan dua lainnya pindah ke kota Daes Salaam. Mereka memberikan keterangan yang berbeda selama tiga tahun terakhir.

Menurut Wiencke, untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, terdapat hal penting mengenai hubungan antara anak jalanan dengan masyarakat, sejauh mana mereka mendapatkan akses yang setara dengan masyarakat lainnya. Sehingga tingkat kerentanan mereka di masyarakat bukan merupakan kelompok yang menjadi korban atas stigmatisasi yang diberikan oleh masyarakat, khususnya penduduk di kota Mwanza.

tulisan ini dibuat dalam rangka tugas perlindungan anak. ari, prima, bob, agam, feri. krim 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar